Jejak Sejarah: Ketika Abuya Dimyathi Dipenjara karena Mengkritik Intimidasi Pemilu Orde Baru

 

PANDEGLANG - Sejarah politik di Banten mencatat sebuah peristiwa kelam menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 1977. K.H. Muchamad Dimyathi, ulama kharismatik dan pemimpin Pondok Pesantren Cidahu, harus mendekam di balik jeruji besi karena keberaniannya mengkritik intimidasi yang dilakukan oleh partai penguasa saat itu, Golongan Karya (Golkar).

Penangkapan Abuya Dimyathi, yang dituduh sebagai pemberontak hingga dicap PKI, memicu ketegangan di Pandeglang. Massa dari kalangan jawara dan santri memblokir jalanan utama kota dan bersiap menyerbu penjara untuk membebaskan pemimpin panutan mereka.

Kritik di Balik Mimbar Jumat

Peristiwa ini bermula dari ceramah Abuya Dimyathi di Masjid Cidahu pada 11 Maret 1977, menjelang Salat Jumat. Di hadapan jemaah, beliau menyampaikan kritik tajam mengenai cara-cara intimidasi yang dilakukan Golkar terhadap masyarakat Pandeglang demi memenangkan pemilu.

"Zaman itu, maklumlah, penekanan-penekanan. Yang namanya kekuasaan, setengah diktatorlah. Harus A, ya A. Harus B, ya B. Banyak orang yang dikejar-kejar, dipaksa," kenang K.H. Ariman Anwar, salah satu santri senior Abuya Dimyathi, seperti dikutip dari Historia.id.

Sebagai mesin politik Orde Baru, kemenangan Golkar adalah harga mati untuk menjaga stabilitas kekuasaan. Berbagai cara dilakukan, mulai dari mempreteli kekuatan partai pesaing hingga menerapkan asas monoloyalitas bagi Pegawai Negeri Sipil.

Di Pandeglang, intimidasi dilakukan dengan menyamakan Golkar dengan pemerintah. Ulama dipolitisasi, dijanjikan dana pembangunan pesantren jika mendukung Golkar. Pesan yang digulirkan sangat jelas: tidak memilih Golkar berarti menentang pemerintah atau makar.

Menjernihkan Posisi Golkar: Bukan Pemerintah

Situasi ini membingungkan masyarakat Pandeglang yang secara budaya politik sangat terikat dengan Nahdlatul Ulama (NU) dan menjunjung tinggi kepatuhan pada pemerintahan yang sah. Mereka meminta fatwa kepada Abuya Dimyathi.

Abuya Dimyathi dengan tegas menjawab bahwa Golkar bukanlah pemerintah.

"K.H. Dimyathi menjawab bahwa Golkar bukanlah pemerintah. Golkar memiliki posisi yang setara dengan partai politik lain, yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Mereka adalah kontestan pemilu 1977," jelas Juhdi Syarif, peneliti dari Universitas Indonesia.

Jawaban ini memberikan kejelasan bahwa masyarakat bebas memilih tanpa ada paksaan, dan tidak memilih Golkar bukanlah tindakan makar. Beliau juga meminta pejabat dan pengurus Golkar menghentikan penakutan terhadap warga.

Penangkapan dan Vonis Kilat

Sayangnya, kejujuran dan keberanian Abuya Dimyathi diartikan lain oleh Kapolsek setempat. Beliau dianggap menentang pemerintah.

Pada 14 Maret 1977, polisi datang menjemput Abuya Dimyathi. Setelah pemeriksaan verbal selama beberapa jam, beliau langsung dijebloskan ke penjara Pandeglang. Sidang kilat tanpa saksi dan pengacara digelar, menghasilkan vonis enam bulan penjara.

Keluarga terkejut. Pihak penjara bahkan sempat melabeli sang kiai sebagai "pemberontak dan orang merah (PKI)". Kabar penahanan ini menyulut amarah santri dan jawara, membuat situasi Pandeglang mencekam dan siap meledak.

Peristiwa ini menjadi catatan sejarah penting tentang perjuangan ulama Banten dalam menjaga netralitas politik dan melawan tirani kekuasaan di masa Orde Baru.

@bangunbanten_

Lebih baru Lebih lama