LEBAK - Bencana lingkungan yang kerap terjadi, baik di Sumatera maupun di Lebak Selatan, memicu perdebatan hangat di berbagai kalangan. Fokus pembahasan mengarah pada dampak kerusakan yang ditimbulkan oleh aktivitas pertambangan, baik skala besar yang legal maupun penambangan rakyat ilegal.
Narasi yang berkembang di masyarakat seringkali menyalahkan tambang ilegal rakyat, padahal kerusakannya relatif kecil karena dilakukan dengan metode underground (di dalam tanah) dan tidak merusak hutan di atasnya. Sebaliknya, kerusakan masif justru kerap ditimbulkan oleh tambang dan perkebunan legal berskala ratusan hingga ribuan hektar.
"Masalah ini menjadi topik hangat pembahasan berbagai kalangan, termasuk di Lebak Selatan, pembahasan mengarah kepada bagaimana dampak yang terjadi sampai kepada bagaimana hukum harus melakukan tindakan konkret kepada para pelaku usaha pertambangan ilegal skala besar dan legal yang merusak lingkungan," ujar seorang pengamat lokal.
Di Lebak Selatan, perhatian publik seringkali tersedot pada PT. Samudra Banten Jaya (SBJ) yang berlokasi di Kecamatan Cibeber. Namun, sorotan juga diarahkan pada beberapa perusahaan tambang lain yang luput dari perhatian, yang memiliki area konsesi yang sangat luas.
Jejak Panjang Perusahaan Tambang di Lebak
Sejak tahun 2006, wilayah Lebak telah menjadi lokasi bagi banyak perusahaan tambang, mulai dari emas, galena, andesit, dan mineral lainnya. Beberapa perusahaan besar dengan izin yang mencakup ribuan hektar pernah atau masih beroperasi di wilayah ini:
PT Multi Utama Kreasindo (MUK): Memiliki izin Operasi Produksi (OP) seluas 904 hektar yang mencakup sebagian Desa Neglasari, Warungbanten, dan Mekarsari. Izin terakhirnya berlaku hingga 2028 untuk komoditas mineral logam galena, yang seringkali mengandung emas di dalamnya.
PT Sudamiskin: Memiliki area konsesi yang sangat luas, mencapai 3.000 hektar di Kecamatan Panggarangan, dengan izin yang telah berakhir pada Juni 2023.
PT. Indo Mitra Mulya (IMM): Memiliki izin OP seluas 1.173 hektar di Kecamatan Cibeber dsk. Perusahaan ini sempat mendapat teguran dari Kementerian ESDM pada tahun 2022 karena belum menyampaikan dokumen Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) tahunan.
PT SBJ: Konsesi Raksasa dan Dampak Luas
PT. Samudra Banten Jaya (SBJ) menjadi salah satu yang paling disorot saat ini. Dengan Izin Penanaman Modal Asing (PMA) yang berlaku hingga 2030, perusahaan ini menguasai area konsesi seluas 1.033 hektar.
Luas ini bahkan melebihi luas Desa Bayah Barat. Aktivitasnya berdampak signifikan, tidak hanya di desa tempat operasionalnya (Neglasari, Cibeber, Ciherang, Cidikit, dan WarungBanten), tetapi juga pada sektor pertanian dan pasokan air bersih di desa tetangga seperti Bayah Barat dan Bayah Timur.
Permasalahan ini menuntut tindakan konkret dari aparat hukum dan pemerintah daerah untuk memastikan kepatuhan perusahaan terhadap regulasi dan meminimalisir kerusakan lingkungan yang ditimbulkan.
(Dokumentasi 2021-2024)


